(Oleh Reni Permata Sari)
Dengan semakin berkembangnya zaman menuju ke
arah globalisasi, permasalahan pendidikan perlu mendapatkan penanganan
yang serius khususnya permasalahan pada anak didik sekarang begitu
kompleks dikarenakan kemajuan IPTEK yang begitu pesat, kemajuan IPTEK di
satu sisi memiliki segi positif namun ada juga segi negatifnya dan itu
sudah menjadi konsekuensinya. Pendidikan harusnya mengacu pada aspek
kognitif, afektif dan psikomotorik. Untuk penanganan aspek kognitif
semua guru mata pelajaran bisa melakukannya tanpa terkecuali. Saya yakin
itu. Namun bagaimana agar siswa itu tidak hanya unggul dalam aspek
kognitif saja tetapi juga pada ke-3 aspek itu (kognitif, afektif dan
psikomotorik) itulah yang sangat sulit untuk dilakukan guru BK pada
khususnya, untuk itu guru BK harus profesional dan dituntut
luwes. Dalam artian serba bisa sehingga guru BK dihargai dimana dia
bekerja agar tidak dianggap penjaga gudang sekolah. Sakit bukan makin
jika guru BK hanya dianggap penjaga gudang sekolah. Pemerintah kurang
begitu memperhatikan, menghargai serta memahamai guru BK sebenarnya itu
seperti apa yang dibutuhkan di sekolah. Realitanya di sekolah SMK salah
satu di Salatiga dari 630 siswa hanya dipegang oleh 1 guru BK. Itu pun
guru BK tersebut masuk ke jam BK hanya di kelas 1 dan kelas 2 saja.
Menurut pengakuannya beliau tidak masuk ke kelas 3. Why???. I don’t know.
Bagaimana para siswa bisa mendapatkan penanganan khusus seperti
bimbingan pribadi, sosial, belajar dan karir???. Hanya guru BK sekolah
itu saja yang bisa menjawab. Pada idealnya seharusnya 1 guru BK memegang
100-150 siswa. Apalagi para siswa SMK paling banyak bermasalah dan
butuh tenaga ekstra untuk menanganinya. Mengapa bisa terjadi
demikian???. Indikasi bahwa kepala sekolah tidak paham mengenai BK itu
sendiri apa dan kendala masalah money khususnya pada sekolah
swasta. Yang sangat memprihatinkan lagi yang menjadi guru BK itu sendiri
latar belakangnya ada yang bukan dari sarjana S1 BK namun sarjana S1
Psikologi, S1 Teknik Informatika dll. Di sekolah-sekolah kabupaten
maupun kota realitanya seperti itu. Bagaimana pemerintah dan kepala
sekolah itu berfikir tentang psikologi/BK??? Berfikir sama kah memandang
psikologi dan BK. Oh, no!!! Adilkah pemerintah saat ini??? Tahu apa
sich pemerintah tentang lulusan S1 psikologi. Sudah jelas bahwa S1
psikologi background mereka bukan dari pendidikan masih saja mereka bisa jadi guru BK. Enak saja.
Anehnya lagi Badan Kepegawaian Daerah (BKD) untuk perekrutan menjadi
guru BK itu perlu dipertanyakan, masak untuk menjadi guru BK
persyaratannya kualifikasi pendidikan sarjana S1 Psikologi/S1 BK. Dengan
persyaratan seperti itu sama saja pemerintah menganggap sarjana S1
Psikologi dan sarjana S1 BK sama dong???. Kalau seperti itu bagaimana
dengan nasib para sarjana S1 BK yang bertahun-tahun kuliah di S1 BK
dengan 144 SKS dan berjuang mati-matian untuk belajar tentang
ke-BK-an???. Nangis darah dong. Perbandingannya, sarjana S1 Psikologi
mereka hanya mendapat segelintir beberapa SKS saja tentang mata kuliah
BK. Oleh karena itu berangkat dari pemerintah itu sendiri paham dan
tahu BK itu sendiri apa kemudian merubah perekrutan, untuk menjadi guru
BK hanya sarjana S1 BK yang diperbolehkan untuk bisa menjadi guru BK
tanpa terkecuali. Dengan seperti itu para kepala sekolah di kabupaten
maupun kota baru akan paham mengenai BK itu sendiri apa. Menurut
penuturan guru besar konseling UKSW Salatiga Prof. Drs. JT. Lobby
Loekmono, Ph.d. para lulusan sarjana psikologi UKSW Salatiga ingin untuk
mengikuti PPG BK di UKSW. Mereka mau membayar berapa pun untuk bisa
ikut PPG BK. Namun untungnya beliau mampu mempertahankan argumen untuk
tidak menerima para sarjana S1 Psikologi tersebut. Beliau berkata “kalau
ingin mengikuti PPG BK kalian harus kuliah lagi jurusan BK dari awal”.
“Kasihan mahasiswa saya dong jika kalian bisa ikut PPG BK, bagiamana
nanti nasib mereka nantinya kalau saya menerima kalian???”. Untung
seperti itu, namun bagaimana jadinya nanti jika sampai sarjana S1
Psikologi bisa ikut PPG BK. Sarjana S1 BK tergusur dong???. Alias tak
dianggap. Keberadaan guru BK dalam dunia pendidikan digolongkan sebagai
salah satu kualifikasi pendidik yang sejajar dengan kualifikasi guru dan
dosen. Hal ini dinyatakan dalam UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 6.
Guru BK itu sendiri sebenarnya pengampu pelayanan ahli bimbingan dan
konseling terutama dalam jalur pendidikan formal dan normal. Sudah jelas
lagi di dalam kualifikasi akademik untuk ikut PPG BK dalam satuan
pendidikan harus sarjana S1 BK. Jadi maaf ya sarjana S1 psikologi tidak
bisa ikut PPG BK ya???. Untuk lebih jelasnya lagi sarjana S1 Psikologi
dia hanya mampu melakukan assesment dan alat pengukuran
psikologi, mampu mengembangkan dan melakukan intervensi psikologis pada
murid, mampu melakukan pelatihan yang diperlukan untuk pengembangan guru
dalam menangani murid, mampu melakukan konsultasi yang berkaitan dengan
institusi sekolah dan sistem pendidikan yang ada di sekolah, mampu
mengembangakan komunikasi yang baik dengan murid dan orang tua murid,
mampu mengembangkan relasi sosial dan keterampilan sosial, mampu
melakukan penelitian terapan psikologi. Lingkup lapangan pekerjaan para
lulusan sarjana S1 Psikologi sebagai psikolog sekolah (bimbingan
belajar, play group, TK, SD, SLTP, SMU dan perguruan tinggi), manajer Training and Development
dan konsultan pendidikan. Jadi dapat bekerjasama dengan pihak sekolah
terkait untuk penyelenggaraan seperti tes bakat, minat dan intelegensi.
Sedangkan guru BK itu mempunyai keahlihan dalam melakukan konseling di
pendidikan formal maupun non formal. Dengan demikian sangat jelas sekali
jika sarjana S1 psikologi tidak bisa menjadi guru BK di sekolah-sekolah
dikarenakan mereka hanya ahli dalam penguasaan ahli ukur psikologis dan
tidak bisa melakukan konseling. Para lulusan sarjana S1 Psikologi
mereka harus membuka tempat praktek kerja sendiri dan paling terpenting
lagi background mereka bukan dari pendidikan jadi mereka tidak
tahu bagaimana cara mendididik, mengajar dan memberikan bimbingan
pribadi, sosial, belajar dan karir kepada para peserta didik.Sedangkan lulusan sarjana S1 BK mereka bisa bekerja di lingkup pendidikan baik formal maupun non formal, guru BK tahu bagaimana dia mengajar, mendidik dan membimbing para peserta didiknya untuk mengoptimalkan potensi para peserta didik yang berguna untuk dirinya sendiri, lingkungan dan masyarakat umum baik bimbingan pribadi, sosial, belajar dan karir. Jadi mohon maaf ya para lulusan S1 Psikologi kalian tidak bisa meniti karir seperti kami sebagai guru BK dan untuk ikut PPG BK karena background kita berbeda, kami dari pendidikan sedangkan loe-loe non pendidikan. Jadi jika masih ada guru BK yang dari lulusan psikologi mohon untuk intropeksi diri “Apakah layak atau tidak saya duduk sebagai guru BK di sekolah?”. Terlebih lagi yang melenceng jauh seperti guru olahraga dan guru teknik informatika (TI) yang menjadi guru BK. Dengan adanya para lulusan sarjana S1 non BK yang menjadi guru BK justru hanya akan memperpuruk keadaan dan menambah berat masalah-masalah yang akan timbul pada peserta didik. Sangat disayangkan bila fenomena non lulusan sarjana non BK menjadi guru BK tetap saja terjadi pada saat ini karena itu sama saja mempertaruhkan generasi penerus bangsa ini. Siapa lagi yang akan meneruskan kita nanti jika generasi penerus bangsa ini dididik oleh orang yang tidak tahu cara mendidik. Bagaimanakah moral para generasi penerus bangsa nantinya. Indikasi jika sampai tetap terjadi fenomena lulusan sarjana S1 non BK menjadi guru BK muncullah tindakan yang tidak beradab, dan tindakan amoral generasi penerus bangsa ini. Pertanyaannya masih layakkah mereka menjadi guru BK dengan merebut kedudukan yang sebenarnya harus ditempati oleh para lulusan sarjana S1 BK?. Jawabannya tidak. Pertanyaan yang ke-2 tindakan amoral yang dilakukan oleh para siswa disebabkan oleh para guru BK yang tak berkompeten alias tidak profesional?. Jawabannya adalah iya. UU yang mengatur tentang kualifikasi dan kompetensi konselor tak sejalan dengan realita yang terjadi. Untuk langkah yang mungkin bisa di lakukan, pemerintah itu sendiri harus menyusun rencana strategis (RENSTRA) yang berpihak pada guru BK, pemerintah juga harus bertindak tegas, pemerintah harus turun langsung ke lapangan melihat realitanya seperti apa kualifikasi akademik guru BK di masing-masing sekolah, kompetensi akademik guru BK itu, berapa guru BK yang harus dibutuhkan untuk masing-masing daerah dengan diseimbangkan jumlah siswa di masing-masing sekolah. Selain itu Badan Kepegawaian Daerah (BKD) juga harus merubah persyaratan untuk menjadi guru BK dari memiliki kualifikasi akademik sarjana S1 Psikologi/sarjana S1 BK dihapus menjadi memilki kualifikasi akademik sarjana S1 BK. Kemudian kepala sekolah harus mendukung setiap program yang diusulkan oleh guru BK. Guru BK, kepala sekolah, para guru mata pelajaran saling mendukung satu sama lain guna mewujudkan tujuan bersama. Kepala sekolah harus mendukung setiap kegiatan yang menjalin hubungan dengan guru BK yang berhubungan dengan peningkatan kompetensi guru BK seperti seminar, lokakarya dan MGMP BK. Dengan tidak ada sekat dan larangan pada guru BK, guru BK akan mengalami pengembangan diri. Yang tidak kalah penting dari guru BK itu sendiri benar-benar background pendidikan S1 BK dan harus profesional, luwes, berkompeten dan mumpuni di bidang Bimbingan dan Konseling.
Lulusan sarjana S1 BK harus bersaing dengan lulusan sarjana S1 yang lain. Dengan membuktikan bahwa sarjana S1 BK luwes, serba bisa, mampu bersaing dan berkompeten dibandingkan dengan para lulusan sarjana yang lain. Guru BK juga harus meningkatkan kualifikasi akademiknya melaluli PLPG BK ataupun meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi ke S2 BK agar guru BK berkompenten dan lebih profesional. Umpatan kepada guru BK sebagai penjaga gudang sekolah, polisi sekolah, guru paling killer, tukang bikin kopi dan seksi konsumsi pun pasti tidak akan melekat dalam guru BK tersebut asal guru BK profesional dan berkompenten mumpuni dalam bidang BK. Dengan demikian guru BK tidak akan diremehkan oleh semua orang. Untuk itu mulai dari sekarang para generasi guru BK yang harus merubah guru BK masa lalu dan masa kini menjadi guru BK masa depan yang profesioanal, bermartabat, bermoral dan berkompeten. Kalau tidak mulai dari sekarang kapan lagi???. Say no to graduates psychology, say yes graduates guidence and counseling.